Text
Puncak kekuasaan mataram: Politik ekspansi Sultan agung
Corak pemerintahan Sultan Agung mencerminkan watak otokrasi timur khas Jawa. Kendali kuasa ada di tangan Susuhunan, dan segala sumber dana harus dialirkan semaksimal mungkin ke istana. Aparat militer, dengan gaya tempur dan tumpasnya yang ampuh, senantiasa dikombinasikan dengan upaya legitimasi yang bersumber dari budaya keagamaan. Untuk menanggulangi ketidakstabilan, alam gaib dibujuk dengan upacara ziarah ke makam Tembayat (plus pemugaran makam tersebut), dan ulama-ulama besar di Mekah dihampiri secara diplomasi untuk memberikan gelar Sultan.
Masa Sultan Agung bertakhta -yang merupakan pembahasan utama buku ini- mengundang refleksi kita, bagaimana dalam suatu masyarakat kekuasaan dipusatkan, dipelihara, dipertahankan, dan untuk suatu saat harus dilepaskan.
Buku ini, yang merupakan salah satu karya H.J. de Graaf tentang sejarah Mataram, secara khusus menyoroti masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) dan sedikit mengenai pendahulunya, Panembahan Sedaing-Krapyak (1601-1613). Diungkapkan bahwa dengan politik ekspansi Sultan Agung, Mataram berhasil melebarkan radius kekuasaan dan pengaruhnya. Upaya menghalau VOC misalnya, meskipun gagal telah menimbulkan rasa hormat para penguasa pribumi di luar Jawa.
Juga ditunjukkan betapa peralihan kekuasaan merupakan masalah besar bagi raja-raja Jawa. Datangnya suksesi berarti suatu krisis. Pergolakan yang menyangkut putra mahkota Sultan Agung banyak mengungkapkan kecenderungan tersebut.
SJH00747 | 959.801 DEG p | My Library | Tersedia |
SJH00995 | 959.801 DEG p | Senayan | Tersedia |
SJH07536 | 959.801 DEG p | Senayan | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain